PEMALANG | - Tentang kecerdasan, jadi di banyak kesempatan seringnya para ilmuwan para filsuf sejak era dulu sampai hari ini, "sering tertipu dengan menganggap bahwa satu-satunya alat manusia untuk memahami sesuatu itu akal sebagai bekal

hidupnya".

Padahal nanti temuan-temuan baru menunjukkan bahwa akal dan juga panca indera itu tidak satu-satunya alat kita untuk menjalani hidup ini. 

Ada banyak alat-alat yang lain, sebenarnya kita membahas alat-alat itu. Jadi kita ini oleh Allah diberi banyak fakultas dalam diri kita, banyak jalan, banyak alat untuk menjadi bekal

hidup kita selain akal yang jarang kita explore secara utuh. 

Kita akan membahas kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, kecerdasan majemuk dan nanti terakhir kita membahas tentang kecerdasan buatan, "ini yang menggelisahkan kita belakangan ini", hal diatas disampaikan Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag M.Ag, dalam sesi Ngaji Filsafat dengan judul "Semakin Pandai Orang Pasti Makin Baik".



Selanjutnya H. Fahruddin Faiz menyatakan lebih lebih detail dengan membahas "Kecerdasan buatan ini yang kita sendiri yang membuat, dan terus mengancam eksistensi Kita sebagai manusia. 

Peran kita hari ini banyak diambil alih oleh kecerdasan buatan ini". 



Bismillah kita awali dengan kecerdasan emosi, ada beberapa cerita yang biasanya dipakai orang untuk mengilustrasikan pentingnya emosi dalam hidup, bahwa emosi itu bahkan perannya lebih besar daripada sekedar akal intelektual/IQ.


Untuk menjelaskan kecerdasan emosi ini cerita tentang seorang

mahasiswa, "seorang mahasiswa yang ada di barat cerdasnya luar

biasa, mahasiswa ini mungkin IPK-nya sudah perfect, nilainya A terus zaman saya kuliah dulu, bahkan ada nilai yang A plus. 


Tapi kemudian ada satu peristiwa yang membalik nasibnya padahal orang menganggap ini masa depannya mesti cerah, anak ini jenius pintarnya luar biasa.

Peristiwa yang membalik

nasibnya ini adalah satu ketika ada seorang dosennya yang memberi nilai A minus (A-). 

Tapi karena dia ini selalu dapat A begitu dapat A minus, tidak terima, dia nganggap, "aku ini perfect kok dapat A minus? "Salahku di mana....?


Saking marahnya kemudian pulang ambil senjata di rumah, balik ke kampus dosen ditembak dan tewas. 


"Nah jadi dia sangat cerdas secara IQ akalnya, tapi secara emosi Dia sangat lemah, sangat

rendah.

Inilah Cerita pertama, Bagaimana Emosi bisa mengubah nasibnya dalam sekejap, semula orang membangga-banggakan masa depannya cerah, tiba-tiba hanya karena nilai A minus tadi masa depannya berbalik, sekarang mungkin urusannya dengan Hukum atau penjara. Bersambung.......(Eko B Art).